novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Saya pernah mendengar cerita bagaimana beberapa ikhwan membalikkan atau menutup foto-foto muslimah yang disodorkan kepada mereka, untuk kemudian menunjuk salah satu, tanpa melihat lebih dulu. Awalnya, cerita ini membuat saya salut, sungguh. Menikah tanpa melihat wajah dan fisik.Sesuatu yang makin langka, di jaman sekarang.

“Jadi saya baru melihatnya ketika kami di pelaminan,”
lelaki itu menyambung kalimatnya dengan nada murung,

“betapa kagetnya saya… karena perempuan itu sama sekali tidak cantik!”

Tidak cantik dan karenanya tidak bisa mencintai?

Tapi mereka sudah dikaruniai empat orang anak, bagaimana mungkin?

Mudah-mudahan saya tidak subjektif ketika menilai raut istrinya yang di mata saya tergolong manis.

Sungguh perkataannya membuat saya seketika ingin protes.

Lihat Rasulullah yang bersedia menikahi perempuan yang 25 tahun lebih tua darinya, bahkan ada yang lebih tua lagi dari itu!
Lihat para sa-habiyah… perempuan yang menerima pinangan Bilal Bin rabah!

Tetapi saya pun mengerti, betapa berlikunya jalan menuju keikhlasan. Betapa berat menjaga suasana hati yang sudah terkondisi agar tidak terkotori. Karenanya, saya tetap menghormati sikap si teman yang tidak melarikan diri, dan tetap berusaha menjadi ayah yang bertanggung jawab bagi anak-anaknya.

Dan tentu saja siapapun tidak boleh dan tidak berhak menghakimi. Meski jika dibenarkan, ingin sekali saya meninjunya.
Depok, September 1999
–o0o–
Baca cerita silat dan novel online
Pernikahan Pertama dan Kedua
“Bagaimanakah perasaan seorang istri bila menemukan wanita lain, tidur di kamar kosong dirumah kami dalam ko ndisi tak berpakaian?”

Aku menikah dua kali. Bukan prestasi cemerlang memang. Tapi juga tak perlu kututupi. Kadang, jujur masih lebih baik daripada munafik. Meski tentu saja tak semua orang berpendapat sama denganku. Tapi biarlah, ini menjadi lembaran hidupku yang mungkin bisa berguna bagi orang lain. Kadang bila kita menghadapi masalah dan tak siap untuk menceritakannya, membaca pengalaman orang lain juga bisa membantu kita dalam memecahkan masalah.

Inilah yang dulu tak sempat kulakukan. Semoga pengalaman burukku tak dialami orang lain, tapi kalaupun ada yang mengalami, mudah-mudahan tulisan ini bisa memberi manfaat.

Pernikahanku yang pertama di tahun 1994 kulangsungkan dalam usia 21 tahun. Aku terpaksa menikah, bukan karena dijodohkan, tapi karena terlanjur mengandung putra pertama. Bayangan-bayangan indah seputar pernikahan sirna di minggu pertama setelah pernikahan kami. Dalam kondisi mengandung 6,5 bulan, tentu saja tak ada honeyrnoon.

Menikah dengan lelaki yang usianya sebaya denganku, belum bekerja dan merupakan drug user tentu saja menimbulkan kesulitan besar bagiku. Tinggal di rumah mertua makin melengkapi buruknya situasi. Semua diatur mertua, termasuk uang bulanan jatah dari mereka, aku tak boleh meneruskan karirku, bahkan tak boleh lagi melanjutkan kuliah.

Tugasku hanyalah menjaga kandungan dan suamiku.
Sementara tak seorang pun penghuni rumah mewah itu berbicara padaku. Mungkin karena kami berbeda ras.

Mungkin karena aku bukan keturunan orang kaya seperti mereka. Sehari-hari, hanya para pembantu dan tukang kebun sajalah teman ngobrolku. Dan harus kuakui, merekalah teman sejati yang selalu siap membantu.

Kejenuhan segera melanda, dan harapan untuk disayang suami sirna setelah kujalani hari demi hari. Suamiku lebih sibuk dengan teman-teman dan narkobanya.

Seringkah ia pergi malam, bahkan tak pulang hingga matahari berada tepat diatas kepala. Kesabaranku betul-betul diuji.

Di saat aku melahirkan, dia memang mendampingi. Tapi malamnya, dia juga tak lupa mendampingi teman-temannya gaul dan dugern. Pernah suatu hari ia merasa sebagai Batman, lalu lompat dari kamar kami di lantai dua, terjun bebas ke garasi. Kakinya patah dan aku harus merawat dua “bayi” sekaligus. Pada waktu itu usia anak kami masih 6 bulan.

Pernah juga dia cemburu dan menamparku di sebuah mall di kawasan Jakarta Selatan. Di saat mengemudikan mobil, ia selalu ugal-ugalan, tak perduli pada keselamatanku dan anaknya. Jangan tanya apakah ia pernah membantuku mengurus anak kami. Melihat dia ada di rumah saja sudah merupakan kemewahan bagiku. Belum lagi berita-berita miring yang sering mampir di telingaku seputar perselingkuhannya. Tapi aku tak pernah mengambil sikap apapun. Selama itu tak kulihat sendiri, biarlah gosip-gosip itu terbang kesana kemari. Aku memang pernah beberapa kali memeriksa dompetnya dan menemukan bon-bon restoran yang tak pernah kami kunjungi bersama. Atau memeriksa Handphonenya dan menemukan pesan-pesan
‘ajaib’ disana. Aku bahkan pernah mengemudikan mobil dalam kondisi mengandung tujuh bulan, hanya untuk membuktikan bahwa suamiku sedang berada di hotel A, kamar sekian, dengan seorang wanita.

Dan apa yang kulihat di sana membakar rasa cemburuku. Ternyata gosip-gosip yang selama ini rajin mampir di telingaku benar adanya. Tapi aku tetap diam.

Aku begitu takut kehilangan dia. Kehilangan statusku sebagai istri. Bagaimana nasib anak kami nanti?
Kondisi demikian berlangsung hingga dua tahun pernikahan. Sebagai perempuan muda yang biasa mandiri, harus meminta uang sekedar untuk biaya hidup dari mertua adalah siksaan bagiku. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan dari mertua seputar keberadaan suamiku, yang aku sendiri tak pernah punya jawabannya karena suami memang tak pernah pamit kalau pergi.

Aku hanya menyabarkan diri demi buah hati kami. Tapi kejadian di suatu hari meruntuhkan semua kesabaran, semua akal sehatku dan menenggelamkan semua rasa cinta yang pernah ada. Bagaimanakah seharusnya perasaan seorang istri bila menemukan wanita lain, tidur di kamar kosong dirumah kami dalam kondisi tak berpakaian?
Salahkah aku bila aku begitu marah dan kecewa hingga memutuskan untuk pulang kerumah orang tua? Salahkah aku bila aku kehilangan rasa percaya yang selama dua tahun ini kupupuk dengan begitu susah payah?

Tak perlu ditanyakan bagaimana herannya orang tuaku melihat aku pulang memboyong anak. Selama dua tahun masa pernikahan kami, mereka memang tak pernah tau apa yang sesungguhnya terjadi karena aku selalu berusaha menutupinya. Cukuplah aku memberi mereka aib. Tak perlu aku tambah kesedihan mereka.

Tapi aku hanyalah manusia biasa yang punya perasaan dan batas kesabaran. Aku tak mampu diam dan terus menerima penghinaan. Maka kuputuskan untuk bercerai.
Orang tuaku hanya mampu memberi support tanpa mampu mencegah niatku.

Masa pernikahan yang sulit, bukan berarti akan mempermudah proses perceraian. Dengan hadirnya seorang anak di tengah kami, maka persoalan bertambah dengan perebutan hak asuh anak. Entah terbuat dari apa hati sang hakim, hingga akhirnya anakku jatuh ke tangan suamiku.

Padahal selama ini dia tak pernah memperdulikan anaknya.
Setelah proses perceraian yang menghabiskan seluruh tabunganku, mantan suamiku pindah ke luar negeri dan membawa anak kami. Hingga kini, perceraian 9 tahun lalu itu masih sering kusesali. Kalau saja dulu aku bersikap lebih dewasa, mungkinkah aku kini masih mengasuh anakku?

Kalau saja dulu aku tak sedemikian cemburu, mungkin kini aku tak perlu menahan rindu untuk hanya bisa bertemu sulungku empat bulan sekali. Dan beribu ‘kalau saja’